Cerita ini berdasarkan kisah nyata dari seorang ibu yang masih terus berharap terbaik untuk anaknya. Satu-satunya buah hati yang dimilikinya, yang tanpa sengaja memilih jalan yang membuatnya terjebak dalam hubungan sebab-akibat yang menuntut tanggung jawabnya. Seorang ibu yang berjuang mengumpulkan uang untuk mempersiapkan setapak masa depan anaknya. Seorang ibu yang pernah kecewa, namun tidak berhenti berharap adanya keajaiban.
“Nama dan lokasi terpaksa disamarkan, demi menjaga privasi sang ibu. Terima kasih ibu, curahan hatimu begitu berharga, mengingat aku seorang wanita yang pada akhirnya nanti akan menjadi seorang ibu.”
Siang itu, aku berkelana diantara banyaknya murid-murid SMU yang bergerombol ricuh. Berteriak satu sama lain, dan tertawa lantang, menikmati kemudaan mereka dengan mencoba hal-hal baru di tempat wisata ini. Aku, berkali-kali tersenyum simpul melihat ulah mereka. Mengingatkanku pada masa-masa yang sama. Masa-masa penuh rasa ingin tahu dan keinginan untuk bebas. Masa SMA!
Siang itu, diantara alam, garangnya matahari tertahan rimbunnya pepohonan yang mengundang sang angin datang berkunjung, aku melangkah, mencoba mencari tempat yang lebih tenang. Kuikuti sang intuisi menuntun langkah kakiku, hingga sampailah aku pada sebuah gazebo mungil di tengah rerimbunan pohon. Di sana, duduklah seorang ibu, setengah baya, dengan sabar menekuni pekerjaan tangan yang menuntut ketekunan, ketelitian dan kesabarannya. Ketekunan dan kesabaran yang dihidupi oleh sebuah mimpi. Mimpi untuk anaknya, satu-satunya buah hati yang dengan sekuat tenaga dan sepenuh doa ia coba rangkaikan masa depan yang lebih baik dari dirinya sendiri.
Awalnya, pembicaraanku dengan sang ibu hanyalah seputar pekerjaan tangannya. Pekerjaan yang membuatku takjub. Ketelitian, kesabaran dan ketekunanlah adalah dasar dari pekerjaan itu. Membuatku mengerti bagaimana orang-orang di jaman sebelumku bisa sesabar dan setekun itu. Karena pekerjaan dan hidup mereka yang minim dengan fasilitas dan teknologi mengasah kemampuan sabar dan tekun mereka. Sedangkan aku sendiri? Jauh dari kesabaran dan ketekunan ibu itu. Tak terasa hingga berjam-jam kami mengobrol di sela-sela sejuknya semilir angin dan rindangnya pepohonan.
Tiba-tiba, dengan pelan sang ibu bercerita tentang dirinya, lalu kemudian bergulir tentang anaknya. Matanya mulai berkaca-kaca. Ibu itu, yang dengan segenap kekuatannya, mencoba mengumpulkan uang tanpa pernah mengeluh, meski harus bekerja berjam-jam dan jauh dari rumah. Satu yang dia impikan, anaknya bisa sekolah meski hanya sampai SMU. Sebuah mimpi sederhana bagiku, yang tiap hari terpikuk oleh hiruknya ibu kota.
“ Nak, kalo ibu liat anak-anak SMU datang ke sini, ibu jadi inget anak ibu. “ lirih ibu itu bercerita. “ Maaf ya nak, ini cerita pribadi ibu. Ibu merasa anak orang baik, jadi ibu cerita.” Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Anak ibu harusnya tahun ini kelas 3 SMA, harusnya udah mau lulus. Tapi mau gimana ya nak…itu tinggal mimpi. Makanya kalau banyak anak sekolah berkunjung ke sini, ibu selalu inget anak ibu. Tapi ibu mau marah juga tidak bisa, sudah terlanjur. Ibu marahpun juga tidak merubah apapun. Jangan-jangan kalau ibu marah, malah anak ibu kenapa-kenapa.” Tiap kejadian dan potongan memori ia mengenai anaknya, ia coba tumpahkan dengan pelan. Dalam lirihnya, matanya menerawang dan berkaca-kaca. Tak terasa, mataku sendiri pun ikut menghangat. Namun ku coba untuk menahannya. Aku tidak ingin membuat ibu itu tersedu, melihat butiran kristal bening mengalir dari mataku.
“Untung atasan ibu baik. Baik orangnya nak. Ibu boleh kerja di sini. Gajinya lebih besar dibanding ibu kerja sendiri di rumah ibu. Dia juga berpesan, yang sabar ya bu. Sabar. Mungkin Yang Di Atas menggariskan demikian.” lanjut sang ibu.
“ Ibu coba sabar nak. Kadang kalau ingat ibu hanya bisa berdoa dalam hati. Kita manusia hanya bisa menjalani apa yang sudah digariskan. Bersyukur ibu masih bisa kerja disini. Sekarang anak ibu sudah kerja. Tapi ibu berharap 2 atau 3 tahun kedepan anak ibu bisa sekolah lagi nak. Lanjut Paket C. Yang penting bisa dapat ijasah SMA nak. Biar mudah cari kerjanya, enggak kaya ibu. Capek kerjanya.” Kembali ibu itu menerawang, seakan-akan kalimat itu tidak ditujukan untuk aku, namun untaian doa kepadaNya, berharap Beliau sang pencipta kehidupan mendengarnya.
Sungguh, meskipun ibu ini sangat sederhana, namun hatinya begitu kaya. Dia tidak menyerah dengan mimpinya. Bagiku saat itu, aku, anak yang tidak terlalu dekat dengan ibu kandung sendiri, begitu banyak perasaan yang membual dalam hatiku, hingga aku tidak dapat mengenalinya. Kupeluk ibu itu serasa ibuku sendiri. Kuusap punggungnya pelan, berharap bisa meringankan bebannya. Begitu besar hatimu bu! Sungguh besar!
Siang itu, meski tubuhku lelah setelah 1,5 jam perjalanan dengan motor di bawah sengat mentari, namun lelah itu tidak terasa. Aku menemukan mutiara kehidupan yang tiba-tiba terbuka di depanku. Sebuah pelajaran kehidupan dari seorang ibu yang dalam kesederhanaannya tidak lelah berharap yang terbaik untuk anaknya. Kuhaturkan pamitku padanya. Masih disempatkannya untuk berpesan, “Hati-hati ya nak di jalan. Kapan-kapan mampir ke rumah ibu.” Semoga jodoh mempertemukan kita lagi ya bu….
Sepanjang perjalananku pulang ke penginapan, dalam hati kupanjatkan rasa syukur yang luar biasa melihat kebesaran hati seorang ibu. Di satu sisi merasa sedih karena aku jarang berbicara dengan ibuku sendiri (karena memang kami tidak terlalu dekat).
Melalui ibu itu aku memahami, seburuk apapun seorang ibu, dalam hatinya akan tetap sama, berharap yang terbaik untuk anak-anaknya. Dalam teguran dan kemarahan seorang ibu ada sebuah harapan dan mimpi yang dia coba bangun untuk masa depan anaknya. Dalam setiap kesalahan anaknya, selalu ada pengampunannya yang tidak akan pernah habis seperti mata air yang mengalir.
Ajari aku hatimu ibu….
“The heart of a mother is a deep abyss at the bottom of which you will always find forgiveness.”
*Honore de Balzac
Jakarta, 17 Juni 2016