ISYARAT TERAKHIR

ISYARAT TERAKHIR

 

 

Hari ini, Agstya sengaja bangun dan mandi lebih pagi. Ia tidak ingin terlambat. Agastya berdiri di depan cermin besar yang tergantung di dekat meja rias di kamarnya. Mematut diri. Ia merapikan anak rambut yang jatuh di keningnya. Agastya mendekatkan wajahnya ke cermin untuk melihat make-upnya. Diambilnya lipstik dari meja riasnya. Masih baru. Dengan sebuah ayunan pelan, Agastya memulas bibir tipisnya sekali lagi, hingga warna merah bata memenuhi setiap sisi bibirnya. Agastya mengulum bibirnya beberapa kali, dan tersenyum manis.

“ M.. boleh juga lipstik ini.”

Setelah puas dengan make-upnya, Agstya sedikit menjauh dari cermin. Ia memperhatikan setiap detail dari baju yang dikenakannya. Sempurna. Ia berputar pelan ke kanan, melihat kalau-kalau ada lokasi kusut di bajunya. Agastya tidak suka baju kusut. Tak lama Agastya tersenyum puas. Penampilannya pagi ini sangat sempurna, sesuai dengan impiannya. Impiannya sejak dulu, sejak ia masih remaja. Hasrat dan mimpi yang tak pernah direlakannya untuk pudar. Meski tidak jarang ia harus melewati lubang kegagalan, tapi Agastya tidak pernah patah. Ia tetap berjalan, ia tidak pernah menyerah. Untuk sejenak wajah Agastya menjadi sendu.

***

 

“ Tya,…” Suara diseberang telepon terdengar begitu gusar. Perasaan Agastya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

“ Ada apa Ma?”

“ Pulang sekarang Tya, keadaan Papamu kritis, sekarang ada di ICU.”

Demi mendengar kalimat itu, tubuh Agastya membeku. Langit-langit di kamar kosnya serasa runtuh. Pikirnya berlari begitu cepat, hingga Agastya sendiri justru hanya bisa diam. Ia terlalu bingung.

“ Papa tunggu Tya….”

Memang sudah lama tubuh papa Agastya digerogoti penyakit. Penyakit tua yang akhirnya menjadi sebuat bom waktu dan sebentar lagi akan meledak. Agastya segera meraih jaket dan dompetnya, kemudian berlari-lari ke ujung jalan dimana dia biasa menyetop bus untuk pulang. Ia tidak peduli dengan pertanyaan yang terlontar dari orang-orang disekitarnya.

Tak lama, Agastya sampai di sebuah rumah sakit bercat putih pucat dimana papanya dirawat. Dengan cepat ia menuju ke ruang ICU. Di sana, mama dan Louna adiknya berdiri di sisi ranjang papanya. Pelan, Agastya melangkah masuk ke ruang itu. Seakan-akan Agastya masih belum percaya jika yang terbaring di ranjang itu adalah papanya.

“ Papa…” Agastya membelai lembut pipi papanya yang begitu pucat, sepucat warna dinding rumah sakit itu.

“ Tya,…” papa Agastya tersadar dari tidurnya begitu mendengar suara Tya. Wajah papanya terlihat begitu lega, seolah-olah yang lama dinantikannya sudah datang.  Tya hanya bisa diam, hatinya belum siap jika ia harus kehilangan orang yang begitu disayanginya. Dengan sisa nafasnya, papa Agastya memberikan isyarat terakhir dengan senyuman. Akhirnya papanya kembali ke pelukan sang pencipta. Raung tangis meledak di ruang itu. Agastya terpekur diam, berlalu ke sudut pintu. Ia menjauh dari tangis-tangis yang merobek hatinya. Tidak ada setetes air matapun yang turun dari sepasang matanya yang indah. Agastya menatap jauh tubuh papanya yang tak bernafas lagi. Dalam ingatannya masih terekam jelas sorot mata papanya yang menatapnya penuh arti. Begitu dalam sehingga dirinya tidak dapat mengatakannya. Hanya hatinya yang mengerti. Agastya mengulang sekali lagi isyarat terakhir papanya. Jangan pernah menyerah….

Upacara pemakaman yang dihadiri oleh kerabat dan rekan kerja papanya berlangsung cepat. Ratusan simpati datang untuk keluarga Agastya, namun Agastya hanya tersenyum tipis. Hanya sebagai suatu ucapan terima kasih. Jauh di dasar hati Agastya, papanya masih hidup. Segala kenangan semangat, dan kasih sayang papanya masih dapat ia rasakan. Sekali lagi Agastya mengulangi isyarat terakhir papanya dan membelai peti jenasah sebagai ucapan perpisahan terakhir untuk sang papa.

Agastya tersadar dari lamunannya ketika sebutir bening air mata jatuh ke pipinya yang halus. Dengan helaan nafas yang panjang, Agastya mencoba mengusir perasaan sedihnya. Ia mengambil sehelai tissu, disusutnya pelan air matanya. Agastya memandang ke cermin, make-upnya sedikit berantakan. Ia mengambil bedak dan menepuk-nepuknya pelan ke wajahnya. Sekali lagi, Agastya mendekatkan wajahnya ke cermin. Agastya tersenyum puas, make-upnya telah rapi kembali. Tidak ada tanda-tanda air mata yang tertinggal di sana. Agastya menganggumi bayangan dirinya di cermin. Ia begitu cantik dan elegan dalam balutan blazer dan celana panjang hitamnya. Rambutnya yang hitam sengaja ia bebaskan tergerai sampai ke bahunya. Begitu hitam dan lurus. Agastya melirik jam tangan Guess yang melingkar manis di tangannya. Sudah pukul 07.15, waktunya makan pagi. Dengan pasti, Agastya membuat isyarat terakhir papanya, Jangan pernah menyerah.

Acara makan pagi di rumah Agastya tidak pernah memakan waktu yang lama. Tiap orang yang ada di rumah itu terbiasa makan dengan cepat. Setelah lima belas menit berlalu, Agastya, mamanya dan Louna adiknya bergegas ke halaman depan rumah. Pak Mirno, supir keluarga Agastya telah siap menunggu di sisi mobil MBW hitam milik Agastya.

“ Berangkat sekarang Mbak Tya?”

“ Ya pak.”

Mobil itu berlalu dari halaman rumah keluarga Agastya yang begitu luas menuju ke sebuah kafe baca yang paling bergengsi di kota Solo. Perlu waktu setidaknya dua puluh menit untuk sampai di kafe itu. Cukup lama memang, namun tidak selama perjalanan hidup yang ditempuh Agastya untuk menggapai mimpinya. Hari ini, Agastya seorang penulis yang berkali-kali mencetak buku best seller akan jumpa fans dengan para penggemar bukunya sekaligus launching buku terbarunya. Sepuluh menit berlalu, HP Agastya bergetar.

“ Ada apa Rur?”

“ Ibu Agastya sampai di mana? “ Ruri asisten pribadi Agastya terdengar begitu kuatir.

“ Lima menit lagi saya tiba di lokasi. Semua persiapan sudah beres?”

“ Sudah Bu, tinggal menunggu kedatangan Ibu saja.”

“ Great!”

“ Bu, Ibu Ruri tunggu di tempat parkir samping kafe. Kita akan masuk lewat pintu samping saja, karena halaman depan sudah penuh dengan penggemar Ibu.”

“ Ok, Rur. Terima kasih.” Agastya memasukan kembali HPnya ke dalam tas.

“ Pak Mirno kita langsung ke halaman parkir samping kafe saja ya pak?”

“ Ya, Mbak Tya.”

Benar apa yang dikatakan oleh Ruri, halaman depan kafe baca itu begitu penuh. Mobil Agastya meluncur masuk ke halaman samping, di sana Ruri sudah menunggunya.

“ Mari Bu, sudah ditunggu di dalam.”

Agastya mengangguk, melangkah mengikuti Ruri masuk ke dalam kafe baca. Begitu pula dengan mamanya dan Louna. Agastya berbincang-bincang sebentar dengan pemimpin kafe. Agastya tahu benar apa yang harus ia lakukan. Jumpa fans dan launching ini bukanlah yang pertama kali untuknya. Agastya berlalu ke tempat yang telah ditentukan untuk menemui para penggemarnya.

“ Isyarat Terakhir merupakan perjalanan hidup saya. Ketika saya masih kecil hingga saya menggapai semua mimpi dan hasrat saya. Bagaimana menemukan sebuah oase dalam badai pasir kehidupan dan mengubahnya menjadi sebuah danau. Ketulusan, dukungan dan kepercayaan, kekuatan yang akhirnya mendorong saya untuk meraih impian. Ketika Anda membacanya, Anda tidak akan menemui sebuah buku di dalamnya, karena ini adalah sebuah perjalanan.”

 

****

Agastya meletakan karangan mawar merah di sebuah nisan putih yang berdiri tegak di depannya. Membiarkan dirinya terhanyut dalam suasana hatinya. Ada sebuah interaksi yang terjadi jauh dalam dirinya. Matanya menatap dalam-dalam nisan itu. Lima tahun telah berlalu, namun papa tetap menjadi bagian dari hidupku sampai kapanpun. Agastya membuat pesan terakhir papanya, jangan pernah menyerah!

*** 

 

Salatiga, Agustus 2007

 

-Happy Birthday Dad. I miss you! Hope you are fine there…See you soon…kapan-kapan kita ngobrol kaya dulu lagi ya….Plese keep you smile for me…I love you, always!-

Rintik Hujan Bulan Oktober

Rintik Hujan Bulan Oktober

 

Hari ini, awal bulan Oktober. Masih sama suramnya seperti bulan Oktober dua tahun lalu, saat kau pergi. Dulu, sewaktu kamu masih ada di sisiku bulan Oktober terasa lebih cerah dari bulan Oktober sebelum-sebelumnya. Hari-hari bulan Oktober, saat rintik hujan pertama kali menyapa bumi. Kau begitu bersemangat menunggu tetes hujan turun ke tanah.

Deswita, begitu kamu menyebutkan dirimu saat aku pertama kali mengenalmu di bawah derai hujan. Dirimu basah kuyup dilanda hujan, bibirmu biru beku. Namun kamu tetap tertawa dan berlari-lari di bawah hujan, seakan kamu tidak takut masuk angin atau terkena flu.

‘’Aku mencintai hujan Ded!’ begitu katamu saat aku berusaha mengingatkan dirimu untuk berteduh.

‘Nanti kamu sakit Wita.’ Kuhampiri dirimu, kusorongkan payung ke arahmu sehingga kita berdua terhindar dari tetes-tetes air. Kamu menatapku begitu dalam, membuat hatiku berdebar keras tertempa sinar matamu yang begitu teduh. Seakan hujan tidak berarti lagi. Bibirmu terkembang, cepat kau dorong payung di tanganku. Kita pun basah. Kejengahan ku dengan hujan berganti cepat. Berbaur dengan antusiasmu akan hujan. Kita bermain hujan sampai busur bumi terkembang di atas langit biru suram. Begitu cantik, sama seperti busur yang terkembang di bibirmu.

****

Lamunanku tentangmu buyar saat pipiku basah oleh setitik air dingin. Aku memandang langit. Hitam pekat. Pasti sebentar lagi hujan deras, pikirku. Seberkas cahaya menyala terang di langit, mengingatkanku pada lampu kamera tua Ayah. Ku keluarkan payung dari tas, dan kembali berjalan menyusuri trotoar yang mulai basah. Angin dingin berhembus. Cepat kutarik leher jaketku lebih rapat. Beberapa motor berjalan ngebut menghindari hujan, tetapi mereka lupa akan keselamatan mereka. Masih beberapa blok lagi perjalananku, jauh. Sebelum hujan menderas, kuputuskan untuk mampir ke sebuah kafe untuk membeli secangkir kopi panas. Kafe itu sepi, hanya ada dua pengunjung yang tampaknya urung beranjak karena hujan turun. Cangkir di depan mereka kosong. Aku menuju ke meja single dekat jendela kaca, memberikanku pemandangan ke arah sebuah taman luas. Seorang pelayan pun datang, menyapaku dengan ramah.

‘Selamat sore pak. Silahkan.’ Nona itu mengangsurkan buku menu ke arahku.

‘Terima kasih. Saya pesan Jammaican coffeenya satu, Apple cakenya satu.’

‘Sudah pak? Hanya itu?’ aku mengangguk. ‘Baik, tunggu sebentar ya pak?’ dengan sopan dan cepat nona itu berlalu ke dapur cafe.

Suasana cafe ini cukup membuatku tenang, setidaknya aku tidak terlalu fokus dengan suara derai hujan yang digantikan musik Jazz lembut mengalun dari sebuah Saxsophone kusam di sudut ruangan. Sama kusamnya dengan rambut pria tua yang memainkannya. Dengan jelas aku bisa melihat derai hujan di luar tanpa perlu mendengarkan suaranya yang membuatku gamang. Aku tidak terlalu suka hujan. Kugosokkan kedua belah tanganku, mengusir rasa dingin yang menerpa. Jalan-jalan sepi, tak seorangpun berlalu. Meninggalkan genangan-genangan air yang terus bergelombang, tertetes hujan.

‘Silahkan pak kopinya.’

‘Terima kasih.’ Sahutku sambil tersenyum. Aku kembali memandang keluar. Ke taman yang basah. Kelopak-kelopak Krisan yang kuyup kedinginan. Sama seperti dirimu saat di bawah hujan, begitu kuyup, tapi cantik.

****

‘Yah….hujan.’ aku mencari payung di dalam tas. ‘Sial! Kelupaan lagi.’ Kulirik langit yang gelap. ‘Bakal lama nih hujannya.’ Tak beberapa lama halte bus terasa sesak dengan orang-orang yang berteduh. Nasib mereka sama denganku. Menunggu hujan reda dan tertangkap dinginnya angin yang berhembus.

‘Maaf….’ seorang gadis manis menyenggol lenganku. Membuat ujung buku yang kudekap basah. Kulemparkan senyumku seadanya, aku lebih kuatir dengan bukuku dari perasaannya yang mungkin akan tersinggung.

‘Sebentar lagi hujan akan bertambah deras, kalo kita di sini terus, pasti akan basah.’ Aku memandangnya heran. ‘Oya, Deswita. Tapi panggil saja aku Wita.’ Gadis itu mengulurkan tangannya ke arahku.

‘Aku Dedi.’ Jawabku singkat seraya menjabat tangan seperlunya.

‘Terkadang, hujan membuat orang menjadi lebih dingin dari biasanya.’

‘Maaf..?’.

‘Ah lupakan saja.’ Kami kembali diam. Beberapa butir halus air menerpa, membuat bajuku terasa lembab.

‘Aku tau kamu.’ Gadis itu kembali membuka mulutnya. ‘Rumahmu di Gang Delima kan?’ aku mengangguk setengah heran. ‘Rumah kita searah loh! Aku di gang Delima juga. Rumah paling ujung. Aku tau, kamu pasti heran karena tidak pernah melihatku sebelumnya.’ Tebak gadis itu cepat. ‘Sebenarnya itu bukan rumahku juga, tapi rumah Nenekku. Oya, mau membantuku? Kita harus cepat pergi sebelum hujan tambah deras. Aku bawa payung kok!’ Gadis itu menjawab keraguanku sebelum aku mengeluarkannya. ‘Kita pulang pake payung. Nih.’ Gadis itu mengansurkan payungnya padaku.

Tanpa sepatah katapun yang meluncur keluar dari mulutku, gadis itu melangkah keluar halte. Aku mengikuti langkahnya seperti orang bodoh, bergerak pulang dengan pelan. ’Ded, kamu tidak keberatankan kalo aku titip tasku?’ Sebelum aku menjawab, kamu menaruh tasmu di pundakku dan berlari keluar dari naungan payung.

‘Hei apa yang kamu lakukan?!’ teriakku kaget.

‘Hujan menggodaku untuk menari bersama.’ Teriakmu riang, membiarkan hujan membasahi tubuhmu. ‘Jangan kuatir, aku tidak akan sakit. Hujan itu sahabatku, jadi dia tidak akan membiarkan aku sakit.’ Hingga aku sampai di rumah, kamu tidak mau sedikitpun kembali di bawah payung.

‘Mau mampir ke rumahku dulu? Kita minum jahe panas dan makan kue apel buatan nenekku. Enak loh!’

‘Tidak terima kasih.’ Sahutku.

‘Wah kau akan menyesal karena tidak mencobanya. Tapi baiklah kalo itu maumu.’ Kamupun berlalu di bawah hujan yang telah berubah menjadi rintik-rintik halus.

****

Kuteguk kopi di depanku. Terasa begitu nikmat dan hangat, mengalir turun ke kerongkongan dan perutku. Sepotong kecil Apple cake mengikuti seteguk kopi. Apple cake yang harum, lembut di lidah. Namun tidak seharum dan selembut Apple cake buatan nenekmu Wit, batinku. Dulu tiap sore, sehabis hujan, aku sering main ke rumahmu untuk sekedar minum jahe panas dan makan Apple cake buatan nenekmu.

‘Cake buatan Nenekmu ini memang luar biasa enak Wit! Bikin nagih.’

Wita tertawa.’Pastilah Ded. Kue buatan nenekku ini memang paling enak rasanya. Ga ada banding deh!’

‘Tapi ngomong-ngomong, Wit, kenapa sih kamu itu selalu hujan-hujanan. Padahal kamu kan bawa payung ke mana-mana?’

‘Itu karena aku mencintai hujan Ded.’ Sahut Wita di sela-sela mengeringkan rambutnya dengan selembar handuk putih bersih.

‘Nggak salah tuh? Hujan kok dicintai. Adanya kamu itu harusnya mencintai sesama manusia. Jangan-jangan kamu udah gila ya?’

‘Kalo gitu kamu temenan sama orang gila donk!’ Wita terkekeh.

‘Gue serius nih Wit! Kenapa sih kamu suka banget sama yang namanya hujan? Nenekmu juga nggak marah waktu kamu main hujan.’

‘Hujan itu pacarku Ded.’ Aku melotot. ‘Iya-iya sori! Ok deh, kalo kamu bener pengen tahu, libur tiga hari besok ini kamu ikut aku ke rumahku. Kita habiskan liburan bersama di sana. Gimana?’

‘Boleh! Aku juga tidak ada acara liburan nanti.’

‘Tapi jangan ngeluh ya? Rumahku itu di desa, jadi ga akan se-nyaman dan se-enak di sini.’

‘Siapa takut?!’

Perjalanan ke rumahmu cukup jauh dan lama. Hampir sekitar dua jam kita habiskan waktu di dalam bus yang gerah dan kotor. Berbaur dengan ibu-ibu bakul pasar. Membuatku sedikit jengah. Untung aku membawa MP3 playerku, sedikit mengusir rasa tidak nyaman. Pemandangan yang ditawarkanpun tidak menarik, hanya bukit-bukit batu kapur putih kecoklatan menjulang menentang langit. Jarang terlihat tanda-tanda kehidupan, hanya beberapa pohon yang tumbuh. Itupun daunnya meranggas.

‘Ded, kamu lihat yang berkilauan di sana?’ aku mengangguk. ‘Itu waduk Gajah Mungkur. Dulu itu adalah suatu pedesaan yang kemudian di pindah untuk dibuat waduk. Dengan adanya waduk ini, kami sedikit tertolong ketika musim kemarau datang.’

Waduk itu terlihat luas saat bus kami melewatinya. Berkilauan tertimpa sinar mentari. Beberapa nelayan dengan sampan mengambang di tengahnya, menunggu jaring mereka diisi ikan. Pemandangan yang sedikit lebih menarik dari pada sebelumnya, karena daerah ini terlihat hijau dari yang sebelum-sebelumnya.

‘Kamu tidak bosan kan? Tanya Wita melihatku mengipas-ngipaskan tanganku. Udara pengap melanda. Benar-benar panas. ‘Kalo kamu nanti tidak tahan tinggal di rumahku bilang ya? Nanti kita balik ke Solo lagi saja.’

‘Kita lihat saja nanti.’ Aku tidak mau kalah. Belum mau kalah tepatnya.

Setelah naik bus, kami turun di sebuah perempatan kecil dengan jalan tanah yang berdebu. Hamparan tanah berbongkah-bongkah merekah merindukan air. Tenggorakanku terasa semakin kering melihat keadaan ini meski aku telah menghabiskan sebotol besar air mineral sejak satu jam yang lalu.

‘Ded, ayo, kita masih harus mencari ojek untuk ke rumahku.’ Wita mengomando aku untuk mengikutinya menyusuri jalan berdebu.

‘Gile Wit. Kering banget di sini. Airnya pada kemana ya?’

Wita tersenyum, ‘Inilah desaku Ded. Kering dan panas.’

‘Untung kamu nggak ikutan kering Wit.’ Wita hanya tersenyum.

Lima belas menit naik ojek melewati jalan-jalan curam yang berkelok-kelok akhirnya sampai juga di rumah Wita. Sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Di sisi kanan rumah ditanami singkong yang menghijau. Membuat mataku sedikit lega setelah melihat debu di mana-mana. Kedatangan kami disambut hangat kedua orang tua Wita dan Andi adik Wita yang masih SMP.

‘Wah, ada tamu to? Ayo nak masuk ke dalam.’

‘Terima kasih bu.’

Usai berbasa-basi sejenak, Wita mengajakku makan siang. Benar-benar suasana desa. Hanya makan seadanya dengan tahu tempe goreng, sambal dan sayur daun singkong.

‘Makannya seadanya ya Ded. Inilah rumahku. Di sini tidak ada KFC ataupun Pizza hut. Adanya ya cuma ini.’

‘Ga papa Wit, biar ada selingan menu makan.’ Jawabku sambil tersenyum.

‘Oya, semoga kita beruntung ya liburan ini, jadi kamu bisa tau mengapa aku, eh kami mencintai hujan.’

‘Kami? Maksudmu orang serumah ini semua mencintai hujan?’ Wita mengangguk cepat dan meneruskan makannya dengan lahap. Membuat rasa penasaran tumbuh makin subur dalam benakku meski aku terperangkap di daerah gersang.

Sehari, dua hari liburanku terasa begitu berbeda dengan liburanku yang biasanya. Liburan kali ini tersa begitu panas dan kering. Benar-benar daerah yang sulit air dan hujan pun tidak kunjung turun, padahal ini sudah tengah Oktober. Langit masih tetap cerah dan matahari masih garang. Tidak ada tanda-tanda hujan.

‘Ded, bosan ya liburan di rumahku?’

‘Tidak juga Wit, ini liburanku paling berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Ya paling tidak aku dapat pengalaman yang baru.’

‘Yakin?’ Wita menyelidik.

Aku menggeleng pelan, ‘Satu yang membuatku bertahan di sini Wit, kamu dan jawabanmu mengapa kamu mencintai hujan.’

Wita geli mendengar penjelasanku. ‘Kurasa seharusnya kamu tau mengapa aku sangat mencintai hujan. Kamu masih ingat jalan tanah berdebu yang kita lewati tempo hari? Masih ingat dengan ladang yang berbongkah-bongkah tanahnya? Masih ingat betapa keringnya sumur di belakang rumah? Masih ingat betapa meranggasnya pohon-pohon di sini?’

Semua pertanyaanmu membuatku sadar mengapa kamu mencintai hujan. Mengapa kamu begitu suka berlarian dan menari di bawah derai hujan.

‘Kak Wita, hujan!!!’ Andi adik Wita tiba-tiba berteriak.

‘Ayo Ded, kita sambut hujan.’ Ditariknya tanganku, kami berlari keluar rumah. Aku berhenti dan termangu di teras melihat Wita dan adiknya bermandikan hujan. Begitu gembira. Seakan-akan bukan air yang turun, melainkan berkah kehidupan yang selama ini mereka nantikan telah turun dari langit.

‘Ded, ayo!.’ Wita berteriak memanggilku. Tubuhnya basah kuyup, sama basahnya dengan tanah dan pohon singkong di sebelah rumahnya.

‘Gila kamu Wit!’ balasku saat Wita menarikku dari teras rumah. Kamipun berlarian, menari, dan berteriak-teriak di bawah hujan bersama dengan gerombolan anak-anak yang lainnya. Baru kali ini aku merasakan hujan yang begitu berbeda dalam hidupku. Hujan yang begitu cerah.

****

Cangkir kopiku telah kosong, hujan juga telah berganti menjadi butiran kristal halus. Kupanggil pelayan untuk membawakan nota. Setelah selesai membayar aku beranjak keluar dari cafe.

‘Pak, maaf….payung anda ketinggalan.’ Seru pelayan itu.

‘Ambil saja untukmu, aku tidak memerlukannya lagi.’

Liburan itu telah lewat beberapa tahun yang lalu tapi terasa masih segar dalam ingatanku. Bagaimana kabarmu saat ini Wita? Lama sekali kita tidak berjumpa? Apakah saat ini di rumahmu juga sedang hujan? Apakah kamu masih tetap menari dan berlarian di bawah hujan? Wita, dalam rintik hujan ini aku merasakan derai hujan yang sama dengan derai hujan di desamu. Dan saat aku melihat langit, busur bumi terbentang begitu indah, sama seperti busur bibirmu. Aku berharap, bulan Oktober ini tetap menurunkan rintik hujannya. Mengobati rasa rinduku padamu, Deswita. Dan biarlah rintik bulan Oktober ini mengembalikan kehidupan cinta kita.

 

-***-

 

Salatiga, Oktober 2007