Hari ini, Agstya sengaja bangun dan mandi lebih pagi. Ia tidak ingin terlambat. Agastya berdiri di depan cermin besar yang tergantung di dekat meja rias di kamarnya. Mematut diri. Ia merapikan anak rambut yang jatuh di keningnya. Agastya mendekatkan wajahnya ke cermin untuk melihat make-upnya. Diambilnya lipstik dari meja riasnya. Masih baru. Dengan sebuah ayunan pelan, Agastya memulas bibir tipisnya sekali lagi, hingga warna merah bata memenuhi setiap sisi bibirnya. Agastya mengulum bibirnya beberapa kali, dan tersenyum manis.
“ M.. boleh juga lipstik ini.”
Setelah puas dengan make-upnya, Agstya sedikit menjauh dari cermin. Ia memperhatikan setiap detail dari baju yang dikenakannya. Sempurna. Ia berputar pelan ke kanan, melihat kalau-kalau ada lokasi kusut di bajunya. Agastya tidak suka baju kusut. Tak lama Agastya tersenyum puas. Penampilannya pagi ini sangat sempurna, sesuai dengan impiannya. Impiannya sejak dulu, sejak ia masih remaja. Hasrat dan mimpi yang tak pernah direlakannya untuk pudar. Meski tidak jarang ia harus melewati lubang kegagalan, tapi Agastya tidak pernah patah. Ia tetap berjalan, ia tidak pernah menyerah. Untuk sejenak wajah Agastya menjadi sendu.
***
“ Tya,…” Suara diseberang telepon terdengar begitu gusar. Perasaan Agastya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
“ Ada apa Ma?”
“ Pulang sekarang Tya, keadaan Papamu kritis, sekarang ada di ICU.”
Demi mendengar kalimat itu, tubuh Agastya membeku. Langit-langit di kamar kosnya serasa runtuh. Pikirnya berlari begitu cepat, hingga Agastya sendiri justru hanya bisa diam. Ia terlalu bingung.
“ Papa tunggu Tya….”
Memang sudah lama tubuh papa Agastya digerogoti penyakit. Penyakit tua yang akhirnya menjadi sebuat bom waktu dan sebentar lagi akan meledak. Agastya segera meraih jaket dan dompetnya, kemudian berlari-lari ke ujung jalan dimana dia biasa menyetop bus untuk pulang. Ia tidak peduli dengan pertanyaan yang terlontar dari orang-orang disekitarnya.
Tak lama, Agastya sampai di sebuah rumah sakit bercat putih pucat dimana papanya dirawat. Dengan cepat ia menuju ke ruang ICU. Di sana, mama dan Louna adiknya berdiri di sisi ranjang papanya. Pelan, Agastya melangkah masuk ke ruang itu. Seakan-akan Agastya masih belum percaya jika yang terbaring di ranjang itu adalah papanya.
“ Papa…” Agastya membelai lembut pipi papanya yang begitu pucat, sepucat warna dinding rumah sakit itu.
“ Tya,…” papa Agastya tersadar dari tidurnya begitu mendengar suara Tya. Wajah papanya terlihat begitu lega, seolah-olah yang lama dinantikannya sudah datang. Tya hanya bisa diam, hatinya belum siap jika ia harus kehilangan orang yang begitu disayanginya. Dengan sisa nafasnya, papa Agastya memberikan isyarat terakhir dengan senyuman. Akhirnya papanya kembali ke pelukan sang pencipta. Raung tangis meledak di ruang itu. Agastya terpekur diam, berlalu ke sudut pintu. Ia menjauh dari tangis-tangis yang merobek hatinya. Tidak ada setetes air matapun yang turun dari sepasang matanya yang indah. Agastya menatap jauh tubuh papanya yang tak bernafas lagi. Dalam ingatannya masih terekam jelas sorot mata papanya yang menatapnya penuh arti. Begitu dalam sehingga dirinya tidak dapat mengatakannya. Hanya hatinya yang mengerti. Agastya mengulang sekali lagi isyarat terakhir papanya. Jangan pernah menyerah….
Upacara pemakaman yang dihadiri oleh kerabat dan rekan kerja papanya berlangsung cepat. Ratusan simpati datang untuk keluarga Agastya, namun Agastya hanya tersenyum tipis. Hanya sebagai suatu ucapan terima kasih. Jauh di dasar hati Agastya, papanya masih hidup. Segala kenangan semangat, dan kasih sayang papanya masih dapat ia rasakan. Sekali lagi Agastya mengulangi isyarat terakhir papanya dan membelai peti jenasah sebagai ucapan perpisahan terakhir untuk sang papa.
Agastya tersadar dari lamunannya ketika sebutir bening air mata jatuh ke pipinya yang halus. Dengan helaan nafas yang panjang, Agastya mencoba mengusir perasaan sedihnya. Ia mengambil sehelai tissu, disusutnya pelan air matanya. Agastya memandang ke cermin, make-upnya sedikit berantakan. Ia mengambil bedak dan menepuk-nepuknya pelan ke wajahnya. Sekali lagi, Agastya mendekatkan wajahnya ke cermin. Agastya tersenyum puas, make-upnya telah rapi kembali. Tidak ada tanda-tanda air mata yang tertinggal di sana. Agastya menganggumi bayangan dirinya di cermin. Ia begitu cantik dan elegan dalam balutan blazer dan celana panjang hitamnya. Rambutnya yang hitam sengaja ia bebaskan tergerai sampai ke bahunya. Begitu hitam dan lurus. Agastya melirik jam tangan Guess yang melingkar manis di tangannya. Sudah pukul 07.15, waktunya makan pagi. Dengan pasti, Agastya membuat isyarat terakhir papanya, Jangan pernah menyerah.
Acara makan pagi di rumah Agastya tidak pernah memakan waktu yang lama. Tiap orang yang ada di rumah itu terbiasa makan dengan cepat. Setelah lima belas menit berlalu, Agastya, mamanya dan Louna adiknya bergegas ke halaman depan rumah. Pak Mirno, supir keluarga Agastya telah siap menunggu di sisi mobil MBW hitam milik Agastya.
“ Berangkat sekarang Mbak Tya?”
“ Ya pak.”
Mobil itu berlalu dari halaman rumah keluarga Agastya yang begitu luas menuju ke sebuah kafe baca yang paling bergengsi di kota Solo. Perlu waktu setidaknya dua puluh menit untuk sampai di kafe itu. Cukup lama memang, namun tidak selama perjalanan hidup yang ditempuh Agastya untuk menggapai mimpinya. Hari ini, Agastya seorang penulis yang berkali-kali mencetak buku best seller akan jumpa fans dengan para penggemar bukunya sekaligus launching buku terbarunya. Sepuluh menit berlalu, HP Agastya bergetar.
“ Ada apa Rur?”
“ Ibu Agastya sampai di mana? “ Ruri asisten pribadi Agastya terdengar begitu kuatir.
“ Lima menit lagi saya tiba di lokasi. Semua persiapan sudah beres?”
“ Sudah Bu, tinggal menunggu kedatangan Ibu saja.”
“ Great!”
“ Bu, Ibu Ruri tunggu di tempat parkir samping kafe. Kita akan masuk lewat pintu samping saja, karena halaman depan sudah penuh dengan penggemar Ibu.”
“ Ok, Rur. Terima kasih.” Agastya memasukan kembali HPnya ke dalam tas.
“ Pak Mirno kita langsung ke halaman parkir samping kafe saja ya pak?”
“ Ya, Mbak Tya.”
Benar apa yang dikatakan oleh Ruri, halaman depan kafe baca itu begitu penuh. Mobil Agastya meluncur masuk ke halaman samping, di sana Ruri sudah menunggunya.
“ Mari Bu, sudah ditunggu di dalam.”
Agastya mengangguk, melangkah mengikuti Ruri masuk ke dalam kafe baca. Begitu pula dengan mamanya dan Louna. Agastya berbincang-bincang sebentar dengan pemimpin kafe. Agastya tahu benar apa yang harus ia lakukan. Jumpa fans dan launching ini bukanlah yang pertama kali untuknya. Agastya berlalu ke tempat yang telah ditentukan untuk menemui para penggemarnya.
“ Isyarat Terakhir merupakan perjalanan hidup saya. Ketika saya masih kecil hingga saya menggapai semua mimpi dan hasrat saya. Bagaimana menemukan sebuah oase dalam badai pasir kehidupan dan mengubahnya menjadi sebuah danau. Ketulusan, dukungan dan kepercayaan, kekuatan yang akhirnya mendorong saya untuk meraih impian. Ketika Anda membacanya, Anda tidak akan menemui sebuah buku di dalamnya, karena ini adalah sebuah perjalanan.”
****
Agastya meletakan karangan mawar merah di sebuah nisan putih yang berdiri tegak di depannya. Membiarkan dirinya terhanyut dalam suasana hatinya. Ada sebuah interaksi yang terjadi jauh dalam dirinya. Matanya menatap dalam-dalam nisan itu. Lima tahun telah berlalu, namun papa tetap menjadi bagian dari hidupku sampai kapanpun. Agastya membuat pesan terakhir papanya, jangan pernah menyerah!
***
Salatiga, Agustus 2007
-Happy Birthday Dad. I miss you! Hope you are fine there…See you soon…kapan-kapan kita ngobrol kaya dulu lagi ya….Plese keep you smile for me…I love you, always!-