Am I a mom?

Am I a mom?

Am I a mom?

No, no…jangan kejauhan mikirnya. I’m not a mommy yet.
Tapi sering gak ditanyain udah isi? Berapa bulan? Udah punya momongan belum? Lalu muncul pertanyaan lanjutan, Kenapa? Kerja mulu ya? Nyari duit mah gak ada abisnya. Belum puas? Lanjut lagi dengan rentetan nasihat yang seputar itu lagi itu lagi. Familiar kan ya dengan kalimat-kalimat itu? Hmm begitulah hidup setelah menikah.

Tapi jangan salah! Dulu jaman masing single and very happy, tetap aja dibuntutin pertanyaan pertanyaan retoris yang udah kaya kaset kusut. Kapan nikah? Mana calonnya? Jangan keasikan kerja, nanti lupa. Kamu udah umur berapa? Ayo buruan. Hmm begitulah hidup seorang perempuan yang masih single menjelang usia 30an.

Padahal kalau dipikir-pikir, namanya hidup, kelahiran, kematian dan jodoh itu bukannya misteri Ilahi? Tapi kenapa seakan-akan jadi urusan banyak orang yang begitu penting untuk segera dicari jawabannya.

Please be nice, toh kita tidak perlu menilai dan menjadi sutradara dari jalan hidup orang bukan? Ada yang sudah disatukan dengan jodohnya, adapula yang masih bergulat dengan beratnya kehidupan sehingga belum bertemu dengan jodohnya. Pun, ada yang sudah dipercaya diberi momongan lucu, tapi ada yang sama sekali tidak.

Yuk, coba sedikit lebih empati satu sama lain, bukannya masing-masing kondisi memiliki kisah perjuangannya sendiri. Yang sudah punya momongan berjuang banget bisa mandi dengan tenang dan nyaman tanpa teriakan dan tangisan. Yang pengen banget punya momongan berjuang untuk mendapatkan dua garis merah tiap bulannya. Pun yang belum siap punya momongan tapi sudah dikasih momongan berjuang banget dengan baby bluesnya.

Seperti halnya yang terjadi pada beberapa rekan yang menikahnya hampir bersamaan denganku. Mereka memiliki kisahnya masing-masing. Ada yang panic gak karuan karena finansial belum memadai, tapi sudah diberikan momongan. Tiap bulan berjuang nyari tambahan dan ngatur keuangan buat beli popok dan susu. Hubungan suami dan istri lebih tegang karena dibayangi kebutuhan ini itu.

Kawan lainnya, diserang baby blues, lalu jadi benci sama diri sendiri karena badannya melar dan penuh stretchmark, padahal hobi banget pake hot pant. Tapi setelah beberapa bulan setelahnya nangis-nangis sendiri karena merasa bersalah ke babynya.

Ada yang berjuang untuk diberi momongan. Hubungan suami istri jadi suatu keharusan yang terjadwal, angka-angka kalender dilingkari. Supplemen ini itu, macam-macam pemeriksaan dan suntikan. Badan melar, mood kacau, tapi belum berhasil juga meski udah bertahun-tahun.

Satu lainnya, jatuh dalam depresi, karena tiap kali mendapatkan titipan, titipannya selalu lahir duluan sebelum masa waktu yang ditentukan sehingga tidak bertahan.

Bahkan ada yang nangis-nangis, sembah sujud dikaki suaminya. Memohon untuk tetap disayang, diterima apa adanya, tidak diceraikan karena hasil labnya menyatakan dia tidak akan bisa punya keturunan.

Namun, bukan berarti tidak ada yang hidup berbahagia dengan momongan yang lucu-lucu tanpa perlu berjuang keras. Tapi apakah betul cerita yang versi ini sama sekali tidak ada perjuangannya sama sekali?

Lalu, aku sendiri? Ya, memang untuk ukuran society timur, aku termasuk terlambat menikah. Maklum baru menikah di tengah 30 an. Dan di tahun kedua pernikahan yang masih berdua aja kemana-mana. Tapi hidup itu perlu dijalani, dinikmati dan disyukuri bukan?

Leave a comment